Alhamdulillah, akhirnya momen ini tiba. Hari yang ditunggu-tunggu oleh sebagian besar mahasiswa PhD di seluruh dunia, yaitu final defense. Final defense merupakan puncak dari perjuangan seorang mahasiswa melalui berbagai lika-liku perjalanan studi S3. Setelah menghadapi berbagai tantangan akademis dan non-akademis, mahasiswa akhirnya harus menyajikan hasil penelitiannya di hadapan para penguji. Berdasarkan pengalaman pribadi selama public defense, saya harus melakukan presentasi di hadapan 9 anggota komite, sebagian besar di antaranya adalah professor dari berbagai kampus di Hungary, termasuk satu orang yang pernah menjadi penasehat bank sentral di Hungary.
Sebelum saya menceritakan proses dan hasil dari public defense tersebut, saya merasa perlu untuk merenung atas perjalanan yang telah dilalui selama sekitar 3 tahun 5 bulan belajar di Hungary. Refleksi ini diharapkan dapat memberikan manfaat, setidaknya bagi diri saya sendiri, dan bersyukur jika bisa memberikan inspirasi bagi orang lain. Berikut adalah beberapa pengalaman akademis yang masih teringat ketika tulisan ini dibuat:
Pertama: Hampir Selalu Diawali Dengan Penolakan
Mungkin ini merupakan hal umum yang akan dihadapi oleh banyak mahasiswa PhD, yaitu menerima email penolakan dari jurnal. Terkadang, penolakan tersebut diterima tidak lama setelah pengiriman pertama, atau lebih dikenal dengan istilah desk rejection. Ini terjadi ketika artikel yang kita kirim langsung ditolak sebelum masuk ke proses blind review.
Pengalaman pertama kali ditolak oleh jurnal terindeks Scopus memberikan dampak negatif bagi saya. Mulai dari perasaan insecure, meragukan kemampuan diri sendiri, hingga muncul pertanyaan apakah saya mampu menyelesaikan studi S3, yang mensyaratkan 4 publikasi artikel ilmiah?
Dalam situasi seperti ini, biasanya saya membutuhkan waktu untuk beristirahat dan kembali ke alam, mentadaburi ciptaan Tuhan. Beruntung, Hungary menyediakan jalur pendakian (hiking) yang luas, sehingga saya tidak kesulitan mencari jalan keluar. Saat mendaki, biasanya menjadi momen refleksi paling efektif bagi saya.
Waktu itu, ketika dalam pendakian, saya mulai mengevaluasi penyebab penolakan artikel tersebut. Saya mencari tahu tentang kelemahan dan kelebihan diri sendiri terkait proses penulisan karya ilmiah. Setelah menyadari kelemahan tersebut, saya harus mengakui bahwa saya sangat lemah dalam metode penelitian dan memiliki sedikit kemampuan untuk menemukan hal baru (novelty). Pada hari itu, saya menyadari bahwa hadiah terindah yang saya dapatkan dari mendaki bukanlah panorama kota Budapest, tetapi kesadaran untuk mencari rekan peneliti yang dapat berkontribusi pada bagian metodologi.
Alhamdulillah, refleksi tersebut membuahkan hasil positif. Setelah sempat mengalami beberapa kali penolakan, akhirnya, artikel pertama kami diterima dan dipublikasikan oleh Polish Journal of Management Studies, sebuah jurnal yang dikelola oleh Ministry of Education and Science of the Republic of Poland dan terindeks Scopus 3.
Ini merupakan pengalaman pertama dalam hidup saya, dapat mempublikasikan artikel di jurnal Scopus pada usia 33 tahun, dan telah berkarier sebagai akademisi selama sekitar 4 tahun. Saya merayakan publikasi tersebut dengan sederhana, menikmati Gyros di warung Turki di Blaha, sambil memikirkan strategi untuk mempublikasikan karya ilmiah lainnya agar dapat memenuhi syarat mengikuti Complex Exam (PhD candidacy), setidaknya dengan publikasi 2 artikel terindeks Scopus.
Pada publikasi Scopus perdana ini, saya banyak dibantu oleh teman dari Pakistan, Adil Saleem, untuk menghandle bagian research methodology. Saya mengakui kehebatan Adil dalam menganalisis data sekunder. Selain itu, beberapa professor juga ikut terlibat dalam memberikan saran dan masukkan guna meningkatkan kwalitas artikel, antara lain Prof. Robert J. Nathan dari Malaysia, Prof. Zoltan, Prof. Magda dan Prof. Barczi dari Hungary.
Arikel terindeks Scopus pertama ini menjadi penting tidak hanya karena menjadi publikasi Scopus perdana, tetapi juga menjadi pengalaman pertama melakukan kolaborasi penelitian dengan akademisi dari berbagai negara. Kolaborasi lintas negara ini, kemudian menginspirasi saya untuk membuat rencana agar bisa melakukan join research dengan berbagai akademisi dan praktisi dari 10 negara berbeda selama masa studi di Hungary, inshaAllah.
Anyway, setelah publikasi perdana tersebut, seperti air mengalir, kami terus melanjutkan kolaborasi penelitian. Alhamdulillah, di tahun yang sama, kami berhasil menerbitkan artikel Scopus yang kedua tentang Islamic Financial Development and Economic Growth, artikel ini seakan menjadi pelengkap dari publikasi kami sebelumnya yang dipterbitkan oleh jurnal di Polandia, yang fokus pada perkembangan keuangan konvensional dan kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi.
Lalu, dilanjutkan dengan artikel tendindeks Scopus ke tiga. Tetap dengan topik research yang sama, yaitu perkembangan keuangan Islam dan kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Data periode triwulan dan spesifikasi lokasi Indonesia dan Pakistan menjadi salah satu keterbaruan dari research ini.
Secara akumulatif, sejak mulai studi pada bulan September 2020 hingga Juli 2021, kami berhasil mempublikasikan tiga karya ilmiah di jurnal terindeks Scopus. Alhamdulillah.
Ini refleksi saya di awal-awal studi di Hungary 🙂
1. Berdamailah dengan penolakan, be humble dan teruslah belajar menulis dan berani submit. InshaAllah, artikel tersebut akan menemukan “rumah” yang tepat. It’s just the matter of time.
2. Mengelola stres sama pentingnya dengan menyelesaikan karya ilmiah itu sendiri. Kita perlu menjaga keseimbangan antara aspek fisik, kesehatan mental dan spiritual selama perjalanan studi.
3. Menemukan dan menyadari kelemahan diri sendiri, serta terbuka untuk melakukan kolaborasi menjadi esensial dalam proses studi.
***
Kedua: Berani Mencoba Pendekatan Baru
Setelah berhasil mempublikasikan hasil penelitian menggunakan data primer (yang dibantu oleh Adil dan beberapa profesor), saya sekarang sedang mencari rekan kolaborasi untuk menulis artikel dengan data primer. Fokus saya tetap pada pencarian novelti penelitian, dan diharapkan rekan kolaborasi baru ini dapat memberikan kontribusi pada bagian metodologi penelitian.
Tiba-tiba, saya teringat salah satu teman yang pernah mengikuti pelatihan penelitian bersama di University of Limoges, Prancis. Saya menghubungi Mas Deni, dan ternyata ia bersedia membantu melakukan analisis menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) di SmartPLS. Kami seolah menemukan mitra yang cocok. Kami berdua memiliki latar belakang di bidang keuangan, dan setuju untuk melakukan penelitian bersama. Selain itu, kami juga mengajak Mbak Atika dari ITB, yang pernah mengikuti pelatihan penelitian di Prancis bersama kami.
Kuesioner yang telah saya persiapkan bersama supervisor, Prof. Robert dari Malaysia, langsung disebar kepada responden di Indonesia. Peran Mas Deni dan Mbak Atika sangat signifikan dalam proses ini. Akhirnya, hampir 500 responden terkumpul selama 5 bulan. Kami mulai menulis manuskrip dengan pembagian tugas, di mana Mas Deni bertanggung jawab untuk merinci bagian metodologi dan Mbak Atika di bagian lain.
Dibutuhkan beberapa bulan untuk menyelesaikan penulisan manuskrip tentang adopsi Fintech di Indonesia. Terima kasih kepada Prof. Robert dan Mas Agus dari UGM yang memberikan masukan penting sebelum artikel ini diserahkan ke jurnal.
Setelah melalui proses blind review, akhirnya paper ini diterima oleh Journal of Open Innovation: Technology, Market, dan Complexity. Sungguh di luar dugaan, paper Fintech pertama kami ternyata mendapat perhatian luar biasa dari kalangan akademisi, baik dari dalam maupun luar negeri. Sejak dipublikasikan pada bulan September 2021 hingga Maret 2024, paper ini sudah disitasi lebih dari 130 kali oleh berbagai jurnal ternama seperti Elsevier, Emerald, dan Springer. Angka ini jauh melebihi rata-rata cite score jurnal di level 7.5.
Fakta yang lebih mengejutkan adalah saat saya membandingkan akumulasi sitasi dari tiga artikel Scopus yang diterbitkan sebelumnya, ternyata jumlahnya lebih sedikit dibandingkan hanya dengan satu paper fintech ini. Sepertinya industri keuangan memang sudah berevolusi. Kita tidak bisa lagi mengesampingkan peran teknologi. Tiba-tiba saya teringat diskusi singkat bersama Simon saat mampir ke kantornya, OTO Technology di 20 Rue de Saint-Pétersbourg, 75008 Paris tahun 2019 silam. Hasil diskusi ini seakan membawa pemikiran saya pada persimpangan jalan antara masa lalu dan masa depan.
Coba bayangkan, saya terpilih sebagai salah satu peserta untuk mengikuti research training in finance and banking karena proposal terkait pasar modal, yaitu long-run evolution of the Indonesian stock market. Tiba-tiba saya singgah ke kantor OTO Technology, di mana orang memberikan informasi tentang blockchain, cryptocurrency, fintech, dan sebagainya 🙂
Anyway, saya mulai membandingkan tren pencarian antara pasar modal versus fintech menggunakan aplikasi Google Trends, dan hasilnya menunjukkan bahwa fintech mendapat perhatian lebih tinggi. Sejak saat itu, saya mulai mempertimbangkan secara serius saran dari Prof. Robert untuk mengubah topik disertasi dari pasar modal menjadi fintech.
Ternyata, berkolaborasi dengan Mas Deni dan Mbak Atika memunculkan keinginan untuk melakukan join research dengan teman-teman yang terafiliasi pada universitas di Indonesia. Sejak saat itu, jika memungkinkan, saya mulai merancang formula kolaborasi dengan melibatkan teman-teman dari Indonesia dan luar negeri, dengan harapan dapat mewujudkan kolaborasi penelitian bersama 10 rekan dari kampus di Indonesia dan 10 peneliti internasional selama masa studi saya di Hungary. Saya juga akan sangat bersyukur seandainya jika bisa mengajak kolaborasi teman yang belum memilki track record publikasi di jurnal terindeks Scopus.
So far, alhamdulillah, 4 artikel bisa dipublikasikan di jurnal terindeks Scopus hingga September 2021. Setidaknya publikasi-publikasi tersebut telah memberikan modal awal untuk bekerja sama dengan dua teman dari kampus di Indonesia (UIN Syarif Didayatullah Jakarta dan ITB Bandung) serta tiga akademisi dari Malaysia, Pakistan, dan Hungary.
Ketiga: Berdamai dan Adaptasi dengan Perubahan
Ketika kita sudah mulai mengambil keputusan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan formal tertinggi, maka bersiaplah dengan segala potensi tantangan di depan. Berdasarkan pengalaman pribadi dan hasil diskusi jamaah Blaha di Budapest, sebagian besar mahasiswa PhD sepakat bahwa tantangan terbesar itu justru datang dari aspek non akademis. Tentu saya tidak memiliki kapasitas untuk berbagi tentang hambatan yang diharapi oleh teman-teman, tetapi saya akan coba sharing bagaimana bisa beradaptasi dan bertahan di tengan tantangan non-akademis selama berjuang di Hungary.
Landing di Hungary awal September 2020, kehadiran saya bertepatan dengan salah satu puncak pandemi Covid-19 di seluruh dunia, termasuk Hungary. Setelah tiba di bandara, Mr. Joly, driver kampus langsung membawa kami ke Hotel Ferihegi untuk melakukan karantina. Stay di hotel beberapa hari, sembari menunggu petugas medis datang dan mengambil sampel. Jika hasil tes adalah negatif, maka kami bisa pindah ke dormitori kampus.
Alhamdulillah, dua kali pengambilan sampel hasilnya negatif sehingga saya dan teman-teman hanya menginap di hotel sekitar lima hari. Tantangan saat Covid-19 cukup berdampak terhadap keuangan kami karena harga barang-barang mulai meningkat.