Refleksi: Final Defense di Musim Dingin

Alhamdulillah, akhirnya momen ini tiba. Hari yang ditunggu-tunggu oleh sebagian besar mahasiswa PhD di seluruh dunia, yaitu final defense. Final defense merupakan puncak dari perjuangan seorang mahasiswa melalui berbagai lika-liku perjalanan studi S3. Setelah menghadapi berbagai tantangan akademis dan non-akademis, mahasiswa akhirnya harus menyajikan hasil penelitiannya di hadapan para penguji. Berdasarkan pengalaman pribadi selama public defense, saya harus melakukan presentasi di hadapan 9 anggota komite, sebagian besar di antaranya adalah professor dari berbagai kampus di Hungary, termasuk satu orang yang pernah menjadi penasehat bank sentral di Hungary.

Sebelum saya menceritakan proses dan hasil dari public defense tersebut, saya merasa perlu untuk merenung atas perjalanan yang telah dilalui selama sekitar 3 tahun 5 bulan belajar di Hungary. Refleksi ini diharapkan dapat memberikan manfaat, setidaknya bagi diri saya sendiri, dan bersyukur jika bisa memberikan inspirasi bagi orang lain. Berikut adalah beberapa pengalaman akademis yang masih teringat ketika tulisan ini dibuat:

Pertama: Hampir Selalu Diawali Dengan Penolakan

Mungkin ini merupakan hal umum yang akan dihadapi oleh banyak mahasiswa PhD, yaitu menerima email penolakan dari jurnal. Terkadang, penolakan tersebut diterima tidak lama setelah pengiriman pertama, atau lebih dikenal dengan istilah desk rejection. Ini terjadi ketika artikel yang kita kirim langsung ditolak sebelum masuk ke proses blind review.

Pengalaman pertama kali ditolak oleh jurnal terindeks Scopus memberikan dampak negatif bagi saya. Mulai dari perasaan insecure, meragukan kemampuan diri sendiri, hingga muncul pertanyaan apakah saya mampu menyelesaikan studi S3, yang mensyaratkan 4 publikasi artikel ilmiah?

Dalam situasi seperti ini, biasanya saya membutuhkan waktu untuk beristirahat dan kembali ke alam, mentadaburi ciptaan Tuhan. Beruntung, Hungary menyediakan jalur pendakian (hiking) yang luas, sehingga saya tidak kesulitan mencari jalan keluar. Saat mendaki, biasanya menjadi momen refleksi paling efektif bagi saya.

Waktu itu, ketika dalam pendakian, saya mulai mengevaluasi penyebab penolakan artikel tersebut. Saya mencari tahu tentang kelemahan dan kelebihan diri sendiri terkait proses penulisan karya ilmiah. Setelah menyadari kelemahan tersebut, saya harus mengakui bahwa saya sangat lemah dalam metode penelitian dan memiliki sedikit kemampuan untuk menemukan hal baru (novelty). Pada hari itu, saya menyadari bahwa hadiah terindah yang saya dapatkan dari mendaki bukanlah panorama kota Budapest, tetapi kesadaran untuk mencari rekan peneliti yang dapat berkontribusi pada bagian metodologi.

Alhamdulillah, refleksi tersebut membuahkan hasil positif. Setelah sempat mengalami beberapa kali penolakan, akhirnya, artikel pertama kami diterima dan dipublikasikan oleh Polish Journal of Management Studies, sebuah jurnal yang dikelola oleh Ministry of Education and Science of the Republic of Poland dan terindeks Scopus 3.

Ini merupakan pengalaman pertama dalam hidup saya, dapat mempublikasikan artikel di jurnal Scopus pada usia 33 tahun, dan telah berkarier sebagai akademisi selama sekitar 4 tahun. Saya merayakan publikasi tersebut dengan sederhana, menikmati Gyros di warung Turki di Blaha, sambil memikirkan strategi untuk mempublikasikan karya ilmiah lainnya agar dapat memenuhi syarat mengikuti Complex Exam (PhD candidacy), setidaknya dengan publikasi 2 artikel terindeks Scopus.

Pada publikasi Scopus perdana ini, saya banyak dibantu oleh teman dari Pakistan, Adil Saleem, untuk menghandle bagian research methodology. Saya mengakui kehebatan Adil dalam menganalisis data sekunder. Selain itu, beberapa professor juga ikut terlibat dalam memberikan saran dan masukkan guna meningkatkan kwalitas artikel, antara lain Prof. Robert J. Nathan dari Malaysia, Prof. Zoltan, Prof. Magda dan Prof. Barczi dari Hungary.

Arikel terindeks Scopus pertama ini menjadi penting tidak hanya karena menjadi publikasi Scopus perdana, tetapi juga menjadi pengalaman pertama melakukan kolaborasi penelitian dengan akademisi dari berbagai negara. Kolaborasi lintas negara ini, kemudian menginspirasi saya untuk membuat rencana agar bisa melakukan join research dengan berbagai akademisi dan praktisi dari 10 negara berbeda selama masa studi di Hungary, inshaAllah.

Anyway, setelah publikasi perdana tersebut, seperti air mengalir, kami terus melanjutkan kolaborasi penelitian. Alhamdulillah, di tahun yang sama, kami berhasil menerbitkan artikel Scopus yang kedua tentang Islamic Financial Development and Economic Growth, artikel ini seakan menjadi pelengkap dari publikasi kami sebelumnya yang dipterbitkan oleh jurnal di Polandia, yang fokus pada perkembangan keuangan konvensional dan kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi.

Lalu, dilanjutkan dengan artikel tendindeks Scopus ke tiga. Tetap dengan topik research yang sama, yaitu perkembangan keuangan Islam dan kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Data periode triwulan dan spesifikasi lokasi Indonesia dan Pakistan menjadi salah satu keterbaruan dari research ini.

Secara akumulatif, sejak mulai studi pada bulan September 2020 hingga Juli 2021, kami berhasil mempublikasikan tiga karya ilmiah di jurnal terindeks Scopus. Alhamdulillah.

Ini refleksi saya di awal-awal studi di Hungary 🙂

1. Berdamailah dengan penolakan, be humble dan teruslah belajar menulis dan berani submit. InshaAllah, artikel tersebut akan menemukan “rumah” yang tepat. It’s just the matter of time.

2. Mengelola stres sama pentingnya dengan menyelesaikan karya ilmiah itu sendiri. Kita perlu menjaga keseimbangan antara aspek fisik, kesehatan mental dan spiritual selama perjalanan studi.

3. Menemukan dan menyadari kelemahan diri sendiri, serta terbuka untuk melakukan kolaborasi menjadi esensial dalam proses studi.

***

Kedua: Berani Mencoba Pendekatan Baru

Setelah berhasil mempublikasikan hasil penelitian menggunakan data primer (yang dibantu oleh Adil dan beberapa profesor), saya sekarang sedang mencari rekan kolaborasi untuk menulis artikel dengan data primer. Fokus saya tetap pada pencarian novelti penelitian, dan diharapkan rekan kolaborasi baru ini dapat memberikan kontribusi pada bagian metodologi penelitian.

Tiba-tiba, saya teringat salah satu teman yang pernah mengikuti pelatihan penelitian bersama di University of Limoges, Prancis. Saya menghubungi Mas Deni, dan ternyata ia bersedia membantu melakukan analisis menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) di SmartPLS. Kami seolah menemukan mitra yang cocok. Kami berdua memiliki latar belakang di bidang keuangan, dan setuju untuk melakukan penelitian bersama. Selain itu, kami juga mengajak Mbak Atika dari ITB, yang pernah mengikuti pelatihan penelitian di Prancis bersama kami.

Kuesioner yang telah saya persiapkan bersama supervisor, Prof. Robert dari Malaysia, langsung disebar kepada responden di Indonesia. Peran Mas Deni dan Mbak Atika sangat signifikan dalam proses ini. Akhirnya, hampir 500 responden terkumpul selama 5 bulan. Kami mulai menulis manuskrip dengan pembagian tugas, di mana Mas Deni bertanggung jawab untuk merinci bagian metodologi dan Mbak Atika di bagian lain.

Dibutuhkan beberapa bulan untuk menyelesaikan penulisan manuskrip tentang adopsi Fintech di Indonesia. Terima kasih kepada Prof. Robert dan Mas Agus dari UGM yang memberikan masukan penting sebelum artikel ini diserahkan ke jurnal.

Setelah melalui proses blind review, akhirnya paper ini diterima oleh Journal of Open Innovation: Technology, Market, dan Complexity. Sungguh di luar dugaan, paper Fintech pertama kami ternyata mendapat perhatian luar biasa dari kalangan akademisi, baik dari dalam maupun luar negeri. Sejak dipublikasikan pada bulan September 2021 hingga Maret 2024, paper ini sudah disitasi lebih dari 130 kali oleh berbagai jurnal ternama seperti Elsevier, Emerald, dan Springer. Angka ini jauh melebihi rata-rata cite score jurnal di level 7.5.

Fakta yang lebih mengejutkan adalah saat saya membandingkan akumulasi sitasi dari tiga artikel Scopus yang diterbitkan sebelumnya, ternyata jumlahnya lebih sedikit dibandingkan hanya dengan satu paper fintech ini. Sepertinya industri keuangan memang sudah berevolusi. Kita tidak bisa lagi mengesampingkan peran teknologi. Tiba-tiba saya teringat diskusi singkat bersama Simon saat mampir ke kantornya, OTO Technology di 20 Rue de Saint-Pétersbourg, 75008 Paris tahun 2019 silam. Hasil diskusi ini seakan membawa pemikiran saya pada persimpangan jalan antara masa lalu dan masa depan.

Coba bayangkan, saya terpilih sebagai salah satu peserta untuk mengikuti research training in finance and banking karena proposal terkait pasar modal, yaitu long-run evolution of the Indonesian stock market. Tiba-tiba saya singgah ke kantor OTO Technology, di mana orang memberikan informasi tentang blockchain, cryptocurrency, fintech, dan sebagainya 🙂

Anyway, saya mulai membandingkan tren pencarian antara pasar modal versus fintech menggunakan aplikasi Google Trends, dan hasilnya menunjukkan bahwa fintech mendapat perhatian lebih tinggi. Sejak saat itu, saya mulai mempertimbangkan secara serius saran dari Prof. Robert untuk mengubah topik disertasi dari pasar modal menjadi fintech.

Ternyata, berkolaborasi dengan Mas Deni dan Mbak Atika memunculkan keinginan untuk melakukan join research dengan teman-teman yang terafiliasi pada universitas di Indonesia. Sejak saat itu, jika memungkinkan, saya mulai merancang formula kolaborasi dengan melibatkan teman-teman dari Indonesia dan luar negeri, dengan harapan dapat mewujudkan kolaborasi penelitian bersama 10 rekan dari kampus di Indonesia dan 10 peneliti internasional selama masa studi saya di Hungary. Saya juga akan sangat bersyukur seandainya jika bisa mengajak kolaborasi teman yang belum memilki track record publikasi di jurnal terindeks Scopus.

So far, alhamdulillah, 4 artikel bisa dipublikasikan di jurnal terindeks Scopus hingga September 2021. Setidaknya publikasi-publikasi tersebut telah memberikan modal awal untuk bekerja sama dengan dua teman dari kampus di Indonesia (UIN Syarif Didayatullah Jakarta dan ITB Bandung) serta tiga akademisi dari Malaysia, Pakistan, dan Hungary.

Ketiga: Berdamai dan Adaptasi dengan Perubahan

Ketika kita sudah mulai mengambil keputusan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan formal tertinggi, maka bersiaplah dengan segala potensi tantangan di depan. Berdasarkan pengalaman pribadi dan hasil diskusi jamaah Blaha di Budapest, sebagian besar mahasiswa PhD sepakat bahwa tantangan terbesar itu justru datang dari aspek non akademis. Tentu saya tidak memiliki kapasitas untuk berbagi tentang hambatan yang diharapi oleh teman-teman, tetapi saya akan coba sharing bagaimana bisa beradaptasi dan bertahan di tengan tantangan non-akademis selama berjuang di Hungary.

Landing di Hungary awal September 2020, kehadiran saya bertepatan dengan salah satu puncak pandemi Covid-19 di seluruh dunia, termasuk Hungary. Setelah tiba di bandara, Mr. Joly, driver kampus langsung membawa kami ke Hotel Ferihegi untuk melakukan karantina. Stay di hotel beberapa hari, sembari menunggu petugas medis datang dan mengambil sampel. Jika hasil tes adalah negatif, maka kami bisa pindah ke dormitori kampus.

Alhamdulillah, dua kali pengambilan sampel hasilnya negatif sehingga saya dan teman-teman hanya menginap di hotel sekitar lima hari. Tantangan saat Covid-19 cukup berdampak terhadap keuangan kami karena harga barang-barang mulai meningkat.

Kereta, Jurnal dan Presentasi

Memastikan buku, artikel dan materi kuliah selalu berada di tempat yang paling mudah dijangkau tidak hanya memiliki peranan penting dalam mendukung proses penulisan disertasi, tetapi juga dalam proses persiapan untuk menghadapi ujian public defense.

Sebagai generasi milenial, sebenarnya saya merasa lebih kusyu ketika membaca buku atau artikel versi hard copy. Proses menggaris atau mewarnai bagian-bagian penting dengan pena atau stabilo memiliki tingkat kepuasan lebih tinggi dibandingkan menggunakan samsung pen. Akan tetapi karena biaya print yang tidak selalu murah di Budapest, maka tablet samsung bekas yang dibeli melalui FB market place ini harus dioptimalkan.

Saya mencoba mengoptimalkannya untuk belajar dan mempersiapkan diri guna menghadapi public defense yang inshaAllah akan dilaksanakan tanggal 1 Februari 2024. Waktu ujian akhir yang akan dihadiri oleh 9 komite dari berbagai kampus di Hungary ini sekitar 7 hari lagi, tetapi saya belum sempat latihan presentasi.

Kecemasan untuk menghadapi ujian, mendorong saya untuk bertanya dengan dosen pembimbing terkait apakah perlu ada simulasi presentasi sebelum presentasi yang sesungguhnya. Mendengar ajakan itu, Prof. Maria malah menyarankan untuk mulai rileks dan jangan terlalu mencemaskan ujian. Budi, sebaiknya kamu baca saja desertasi dan menikmati waktu lebih banyak bersama keluaraga. I know your capability, Prof. Maria menutup diskusi sore itu di Godollo.

Mendengar jawaban pembimbing, saya malah bingung dan akhirnya kembali larut dalam kegiatan persiapan pemilu. Hampir setiap hari kerja, saya harus datang ke kantor KBRI Budapest yang menjadi sekret panitia pemilu di Hungary. Saat bekerja untuk mempersiapkan pemilu, tiba-tiba deja vu dengan memori saat masih menjadi pengurus BEM di kampus Unsri Indralaya puluhan tahun lalu. Persis seperti pesan almarhum Steve Jobs terkait connecting the dots 🙂

Anyway, meskipun Prof. Maria menyarankan untuk lebih “santai”, saya tetap berupaya untuk mempersiapkan bahan presentasi untuk public defense nanti. Saat menunggu teman di warung kopi di sebrang stasiun Keleti, saya manfaatkan waktu sekitar 30 menit untuk membuka slide presentasi. Disini, saya hanya fokus memahami arti Fintech dan inklusi keuangan, serta mengaitkanya dengan laporan World Bank tentang Global Findex Dataset 2021. Memang umur tidak pernah bohong, saat ini belajar relatif agak sulit dibandingkan saat masih muda dulu 🙂

Dalam perjalanan dari Budapest menuju kampus Godollo, saya optimalkan waktu untuk mendalami kontribusi teoritis yang saya coba tawarkan lewat disertasi ini.

On train between Budapest and Godollo, winter 2024

Undangan Public Defense just Went Out

Alhamdulillah, undangan Public Defense telah diterbitkan pada tanggal 18 Januari 2024, menciptakan campuran emosi kompleks dalam diri. Ms. Edit dari International Office mengumumkan undangan tersebut. Undangan disebar melalui beberapa channel. Mulai dari menempelnya di madding kampus, post di social media dan website, hingga dipublikasikan di portal kampus Mate, Neptun.

Kegembiraan dan rasa syukur hadir, menandakan bahwa momen penting dalam perjalanan akademis inshaAllah semakin mendekat. Namun, perasaan khawatir menyelinap saat saya menyadari bahwa waktu tersisa hanya dua minggu sebelum acara berlangsung. Terlebih lagi, saya masih terikat dengan tugas sebagai anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) Budapest di bagian pos, yang memiliki tanggung jawab mengirim surat suara ke calon pemilih yang tidak dapat melakukan pemilihan langsung di lokasi tempat pemungutan suara (PTS) di dua kota di Hungary, yaitu Budapest dan Szeged. Dua tugas yang sama pentingnya.

Beberapa foto pelantikan sebagai petugas pemilu di Hungary yang dilakukan di kantor kedutaaan Indonesia di Budapest yang dihadiri oleh Pak Dubes beserta jajarannya.

Meskipun terlibat sebagai penyelenggara pemilu, saya mulai merencanakan strategi persiapan menghadapi ujian. Saya berusaha memastikan presentasi saya terstruktur dengan baik dan mencoba mengantisipasi pertanyaan dari dosen penguji. Di kampus tempat saya belajar sekarang, seperti ada aturan yang tidak tertulis tapi sangat di patuhi yaitu we are willing to overlook it if you make a mistake, but exceeding the allocated time is not something we can tolerate.

Keinginan untuk memberikan yang terbaik mendorong saya untuk menghadapi situasi ini dengan melakukan ikhtiar optimal dan berserah diri pada Allah. Alhamdulillah, pada momen-momen krusial seperti ini, “Professor” Ira (istri) selalu memainkan peranannya dengan baik saat berakting sebagai dosen yang menguji presentasi mahasiswa. Bahkan, berdasarkan pengalaman pada ujian kompleks dan home defense, Prof. Ira seringkali lebih kritis dibandingkan dengan Professor sebenarnya 🙂

Anyway, ini contoh undangan public defense di universitas Mate, khususnya program doctoral school of economic and regional sciences. Nama-nama anggota komite yang akan hadir disebutkan di dalam undangan. Melihat komite yang akan hadir, ini akan menjadi pengalaman pertama saya melakukan presentasi di depan beberapa Professor dari Eropa.

Saat ini, saya hanya bisa berusaha, berdoa, dan mencoba tetap tetang sembari menata perasaan agar bisa berdamai menerima apapun hasil yang akan saya dapatkan dari Public Defense nanti. InshaAllah, all is well. Aamiin YRA.

#panitiapemiluluarnegeri #publicdefensehungary

Budapest, winter 2024.

Sungai Musi, Danube, dan Vltava

Kunjungan kami di Praha disambut oleh rintik salju, menciptakan suasana yang ajaib. Saat ini, pemanasan global bukan lagi sekadar wacana, tapi telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Professor di kampus pernah berbagi kisah tentang masa sepuluh tahun lalu di Hungary, di mana salju tebal hampir selalu turun antara bulan Desember dan Februari. Bahkan, ada masa di mana sungai Danube membeku, memungkinkan masyarakat bermain ski di atasnya. Hari ini, impian melihat salju tebal tidak hanya milik manusia tropis seperti saya, tetapi juga hampir menjadi kenangan indah bagi sebagian mereka yang tinggal di negara empat musim.

Kembali ke Praha, kota yang dipenuhi sejarah. Jarak antara Praha dan Indonesia terasa semakin dekat dalam hati. Cerita tentang perjuangan eksil Indonesia di Praha, seperti yang ditampilkan dalam film Surat Dari Praha, menjadi dorongan untuk menjelajahi kota ini. Secara pribadi, saya terpesona oleh harmoni antara bangunan tua dan moda transportasi modern yang berhasil diwujudkan oleh sang arsitek.

Praha bukan hanya terkenal dengan Dancing House, melainkan juga dengan harmoni musik klasik, keelokan bangunan kuno, dan ikon kota, Charles Bridge. Melintasi jembatan kuno yang pernah hancur akibat banjir tahun 1342 terasa seperti berada di pasar tradisional 16 ilir kota Palembang. Ramai, dengan manusia yang ingin melintasi jembatan di atas sungai Vltava, menghubungkan Prague Castle dan Old Town.

Sungai Vltava membawa saya kembali pada memori masa kecil di sungai Musi Palembang, saat bapak mengajak kami mancing ikan patin menggunakan perahu kayu (ketek) puluhan tahun silam (Sayang saya tidak memiliki foto saat mancing bersama bapak). Sebagai ilustrasi mungkin saya sertakan saja foto ini. Gambar yang diambil oleh Mas Nono ini berhasil mengabadiakan kegagalan saya saat belajar mendayung perahu di Hamori Lake kota Miskolc.

Meskipun sungai Vltava tidak langsung tersambung dengan sungai Musi Palembang, tetapi saya mencoba menghubungkannya secara imajinatif. Menarik garis imajiner untuk mengaitkan kenangan masa kecil bersama bapak di sungai Musi Palembang denang pengalaman ketika menikmati matahari terbenam musim dingin di tepi sungai Danube dan Vltava bersama Ira dan Shanum.

Mencoba menikmati aliran sungi Danube di malam hari saat musim dingin, sembari berbagi sedikit cerita ke Shanum tentang sungai Musi Palembang (Desember 2023).
Menikmati suasana pinggir sungai Vltava. Putih salju masih menyelimuti lantai kota Praha (Januari 2024).

InshaAllah, jika ada kesempatan, saya berharap dapat mengajak keluarga mancing di Sungai Musi sambil mengenang peristiwa 20 tahun lalu saat mancing ikan bersama bapak. Jika itu terwujud, mungkin kami akan berbagi cerita tentang pengalaman hari ini, menikmati aliran sungai Danube di Budapest dan suara air sungai Vltava kota Praha.

Prague in winter, 2024

Sungai Danube dan Dampak Perubahan Iklim

Desember 2023, Sungai Danube, yang tenang mengalir melintasi Hungary, meluap hingga ke jalan raya, sebuah peristiwa yang mengingatkan kita pada kejadian serupa pada Desember 1987. Banjir ini bukan hanya menimbulkan kekhawatiran lokal, tapi juga menjadi simbol yang lebih besar dari masalah global tentang pemanasan bumi.

Tingginya level air Sungai Danube hingga menutupi miniatur sepatu-sepatu besi, yang merupakan monumen peringatan Holocaust untuk orang Yahudi Hongaria.

Foto diambil hari Jum’at 29 Desember 2023
Foto diambil tanggal 7 Oktober 2020

Situasi ini menarik perhatian banyak orang. Warga setempat dan turis berbondong-bondong ke tepi sungai, menyaksikan dengan mata kepala sendiri bukti nyata perubahan iklim. Mereka berdiri di pinggir jalan yang kini menjadi tepi sungai, menatap dengan takjub dan mungkin juga kekhawatiran.

Tapi banjir di Sungai Danube bukan satu-satunya tanda perubahan iklim di Hungary. Musim dingin yang biasanya membawa salju tebal, kini semakin sering berlalu tanpa butiran salju. Ini adalah dampak langsung dari pemanasan global, di mana suhu yang lebih hangat mengurangi kemungkinan turunnya salju. Bahkan, ketika aku berkunjung ke tepian sungai Danube saat musim dingin tahun ini, temperaturenya terasa seperti musim gugur.

Tak heran jika di winter tahun 2023 ini, kita membaca berita tentang pembatalan olah raga ski di beberapa tempat karena kurangnya salju, sebuah pukulan bagi industri pariwisata dan juga bagi tradisi olahraga musim dingin. Mesin salju buatan menjadi pemandangan yang semakin umum, tapi ini hanyalah solusi sementara dan tidak mengatasi akar masalah. Mesin yang sama juga terlihat di Normafa saat winter tiba.

Banjir di Sungai Danube dan minimnya salju yang turun di musim dingin adalah dua sisi dari masalah yang sama. Keduanya adalah bukti nyata dari dampak perubahan iklim yang kini menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Melalui peristiwa-peristiwa ini, alam mengirimkan pesan yang jelas bahwa tindakan untuk melawan pemanasan global tidak hanya mendesak, tetapi juga penting untuk kelangsungan hidup kita dan generasi mendatang.

Lalu, apa yang bisa aku kontribusikan sebagai mahasiswa jurusan manajemen keuangan dalam perubahan iklim?

Alhamdulillah, laporan World Bank tahun 2021 yang mengulas tentang peran penting teknologi keuangan (Fintech) dalam mendorong green financing memberikan inspirasi untuk membuat satu dimensi baru. Agar tidak kehilangan momen, saya mengajak beberapa teman untuk memasukkan “Perceived Green Finance” sebagai salah satu veriabel untuk memperluas salah satu research model tentang adopsi teknologi.

Secara paralel, saya juga membagikan ide ini ke supervisor tentang rencana untuk mengaitkan Fintech dengan green finance. Alhamdulillah beliau menyambut baik rencana tersebut. Semoga proses penelitian ini nantinya bisa berjalan lancar dan hasilnya bisa diterbitkan di jurnal internasional bereputasi, serta bisa memberikan kontribusi berupa saran bagi pengambil kebijakan untuk bisa mengoptimalisasi akses terhadap layanan keuangan dengan tetap fokus pada aspek lingkungan. Aamiin YRA.

Danube river in winter, Budapest 2023

Shanum is Turning 7 Years

Written by my wife, Ira Pratiwi tentang do’a dan harapan kami bagi Shanum di usianya yang ke 7 tahun 🙂

MasyaAllah Tabarakallah, Shanum udah 7 tahun sekarang 🥳

Anak manis yang baik hati dan lembut. Semoga sehat terus, panjang umur, selalu dilindungi Allah dimanapun berada, selalu dipertemukan dengan orang2 baik selama hidupmu, jadi anak saliha yang cerdas dan bisa menjaga diri dengan baik, berlimpah rezeki dan dijauhkan dr marabahaya, Amiiiin Allahumma Amiiin🙏🏻

Terima kasih sudah selalu memahami dan menerima segala kekurangan ayah dan bunda ya nak, dan terima kasih sudah berusaha jadi anak yang baik setiap hari. Kamu titipan Allah yang paling berharga bagi ayah dan bunda. Semoga kita bisa bersama dan bahagia untuk waktu yang lama, Amiiin YRA 👨‍👩‍👧❤️

***

Pertualangan kami selama menempuh pendidikan di Hungary memang tidak selalu mudah. Alhamdulillah, bantuan dari Allah, saudara dan teman-teman inshaAllah selalu hadir di saat yang tepat. Pada momen-momen seperti ini, tak ada kata lain yang bisa kami ucapkan selain mengingat pesan tentang fabiayyi ala irobbikuma tukadziban.

Budapest, winter 2023

A Family’s Autumnal Adventure in Miskolc, Hungary

As we embarked on our family getaway to Miskolc, Hungary, we were greeted by the crisp, autumn air, signaling the beginning of an unforgettable journey. The quaint city, nestled in the heart of Hungary, was about to unveil its autumnal splendor to us in the most enchanting way.

Our adventure kicked off aboard an old-fashioned train, chugging its way through dense forests. The rhythmic clatter of the train on the tracks became a soothing soundtrack to the spectacular display of fall colors outside. Watching the forest awash with golds and oranges through the misty windows felt like stepping into a living painting, where every turn brought a new, breathtaking canvas.

The highlight of our trip was the Lillafüred Libego. This cable car ride, seemingly straight out of a fairy tale, offered an aerial view of the forest’s autumn canopy. As we glided over the treetops, it was as if the world below had transformed into a kaleidoscope of fiery reds and yellows, a spectacle that left us in awe.

Our journey then took us to the serene Hamori Lake. Here, we embarked on a leisurely sail around the small island nestled in its center. The lake, mirror-like, reflected the autumn sky and the surrounding foliage, creating a surreal and tranquil experience. It was a moment of pure serenity, where time seemed to stand still and the worries of the world melted away. This journey made me almost forgot that there was still the task of revising the dissertation after completing the preliminary defense 🙂

As the sun set on our short trip, casting a golden glow over the city, we realized that Miskolc had given us more than just a holiday; it had given us memories to cherish forever. In every leaf that fell and every track that we crossed, we found a piece of ourselves, a reminder of the joy of exploration and the bond of family.

Nature, Libego, Hamori Lake and Miskolc, was not just a destination; it was a beautiful chapter in our family’s story, one that we would always hold close to our hearts.

Our short video in Miskolc, Hungary 🙂

Autumn in Miskolc, Hungary 2023

Kekesteto dan Puncak Tertinggi di Hungary

Menghirup udara segar di musim gugur, kami dan Shanum memulai pendakian ke puncak tertinggi di Hungary, Kékestető. Dengan ketinggian 1.014 meter, gunung tersebut dikelilingi oleh warna alam yang menakjubkan, dedaunan yang berubah menjadi kuning keemasan, merah menyala, dan oranye, sebuah lukisan hidup yang menginspirasi setiap langkah.

Monumen batu yang dicat dengan warna merah, putih, dan hijau—menggambarkan bendera Hungary—menjadi simbol kebanggaan nasional dan pencapaian. Puncak ini memang lebih dari sekadar titik tertinggi; itu adalah tanda dari kekuatan dan ketahanan. Akan tetapi, sejarah tentang siapa yang pertama kali mencapai puncak dan kapan itu terjadi mungkin tidak tercatat dengan rinci, setiap pendaki yang mencapai titik ini menjadi bagian dari warisan tersebut.

Pendakian ini bagi kami bukan hanya tentang mencapai puncak, tetapi juga tentang mengapresiasi keindahan alam dan refleksi tentang keterkaitan kita dengan alam. Tuhan, seperti selalu memiliki cara untuk menunjukkan kebesaran.Nya.

Di musim gugur, ketika alam bertransisi, mungkin Shanum belajar tentang siklus kehidupan, tentang melepaskan yang lama dan mempersiapkan yang baru. Kékestető, dengan warna-warni daunnya yang gugur, mengajarkan Shanum dan kami tentang pentingnya adaptasi.

Menatap pemandangan dari atas, mengamati hamparan hutan yang luas dan langit yang cerah, kami memahami bahwa kebesaran alam adalah guru terbaik. Pengalaman unik di Kékestető ini bukan hanya akan menjadi kenangan indah, tetapi juga pelajaran abadi tentang kesabaran, ketekunan, dan keajaiban alam yang akan terus mengingatkan kami tentang betapa indahnya ciptaan Tuhan.

Beberapa foto yang diambil saat bertualang ke titik tertinggi di Hungaria, Kekesteto.

Kekesteto, Hungary in Autumn 2023

Kota Vac dan Hikmah tentang Ketidakpastian

Kota Vac, yang terletak di tepi Sungai Danube Hungary, mempesona setiap pengunjung dengan sejarahnya yang kaya dan arsitektur bangunan yang sederhana. Sejak didirikan pada sekitar abad ke-11, kota ini menjadi saksi bisu perjalanan waktu yang menghiasi setiap sudutnya. Sejarah juga menyebutkan bahwa Vac menjadi salah satu kota yang pernah diserang oleh bangsa Mongol sekitar pertengahan abad ke 12.

Namun, ketenangan suasana kota Vac ini tidak luput dari bayang-bayang perang dunia. Ketika konflik global melanda, Vac menjadi saksi ketidakpastian dan perubahan. Saat perang dunia II meletus, kota ini pernah dikuasai oleh pasukan Uni Soviet tahun 1944. Meskipun menghadapi tantangan berat, semangat dan ketahanan warga kota muncul sebagai cermin keberanian manusia di saat krisis. Kondisi Vac di masa lalu bisa menjadi pelajaran berharga bagi umat manusia dewasa ini, dimana kita sedang dilanda ketidakpastian pasca pandemi Covid-19 dan peperangan di beberapa negara dunia.

Selain sejarah dan perang, Kota Vac menawarkan pengalaman kuliner yang tak terlupakan. Suasana yang istimewa dan kelezatan kuliner lokal menciptakan pengalaman kuliner yang tak terlupakan. Sayang sekali, saya lupa mendokumentasikan ayam keju dengan sup strawbery yang saya pesan. Tapi ketika sup strawbery itu tiba di meja makan, saya langsung teringat dengan film Masha and the Bear ketika rencana bear membuat sup strawbery dirusak oleh Masha 🙂

Kehangatan dan keceriaan juga meliputi kami dari kampus Mate, di mana mahasiswa internasional berkumpul dalam pertukaran budaya yang berharga. Momen kebersamaan di tengah lingkungan pendidikan yang dinamis memperkaya pengalaman kunjungan ke Kota Vac.

Melalui kunjungan ini, terbuka wawasan tentang pentingnya pelestarian sejarah, ketahanan di tengah cobaan, dan keberagaman budaya. Berkunjung ke Kota Vac, bukan hanya tentang menikmati keindahan kotanya, tetapi juga meresapi nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sejarahnya.

Jika ada kesempatan, mari sempatkan waktu berkunjung untuk menjelajahi Kota Vac, di mana sejarah, kehidupan, dan keceriaan bersatu dalam harmoni yang tak terlupakan.

Saat kunjungan di kota Vac, kami juga diundang untuk singgah ke rumah Prof. Feher di pinggir sungai Danube. Rumahnya sangat asri, halamannya terdapat banyak pohon anggur dan apel, dan kami diizinkan untuk memetik dan membawanya pulang. Tentu saja, tawaran Prof. Feher langsung direspon positif oleh mahasiswa yang sebagian besar hidupnya dari uang beasiswa 🙂

Foto bersama Prof. Feher dan Prof. Maria di halaman belakang rumah.

Autumn in Vac, Hungary 2023

Understanding the H-Index: My Journey from Curiosity to Peer Review

To be honest, I used to wonder about the significance of the h-index on Google Scholar until I received an email from Applied Economics, inviting me to review an article.

The connection between your Google Scholar h-index and the chance to review a paper for a respected journal is like a fascinating journey through the world of academic research. You see, the h-index is like your academic “street cred.” My supervisor calls h-index as currency of academia. It takes into account not just how many papers you’ve published but also how many times other researchers have cited your work. So, when reputable journals are on the hunt for reviewers, they often look for folks with a strong academic background and a proven track record, as indicated by their h-index. The higher your h-index, the more likely you are to be asked to review papers.

But here’s the cool part: continuously writing and publishing articles in these esteemed journals does much more than just boost your h-index; it opens up a world of exciting opportunities. By consistently sharing your work, you not only forge connections with fellow experts and researchers in your field but also swing the door wide open for international collaboration. Since embracing collaboration with researchers from around the globe, I’ve had the pleasure of working with at least 10 researchers hailing from Asia, Africa, and Europe. For instance, take this article on Fintech, which reflects the collective insights and works of academics from Indonesia, Vietnam, Malaysia, Hungary, Spain, and the Netherlands.

So, if you’re an aspiring academic, don’t shy away from the opportunity to publish your work in reputable journals and steadily build up that h-index. It’s not just about numbers; it’s about becoming a respected voice in your field and opening doors to exciting collaborations and experiences. Keep writing, keep sharing, and keep connecting with your academic community. Your contributions can make a significant impact on the world of research, and that’s a journey worth embarking on. Don’t wait – start your adventure today 🙂

Budapest, Autumn 2023